Dekarbonisasi Indonesia Setara Negara Maju | Neraca.co.id

Table of Contents
Issue Date

Bandung – Upaya Indonesia menekan emisi karbon atau dekarbonisasi berada pada level yang sama dengan negara-negara maju di dunia. Pengomptimalan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), perdagangan karbon, penyimpanan C02 ke dalam sumur minyak dan gas jadi bagian tak terpisahkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan, “kita (Indonesia) sudah mulai perdagangan karbon. Kita sudah sampai ke skala ekonomi yang baik dan sudah melaksanakan hal tersebut. Sudah ada kontrak (pembangkit) EBT dan diresmikan oleh Presiden RI untuk PLTS Terapung Cirata. Presiden juga sudah meresmikan groundbreaking untuk Green Ammonia dua minggu lalu, serta proses pertama Carbon Capture Storage (CCS) di Sukawati. Banyak yang bilang di Eropa lakukan transisi energi dalam rangka menekan emisi di atmosfer, yang dilakukan Indonesia sudah masuk ke level-level negara maju.”

Dadan menjelaskan capaian yang sudah dilakukan Indonesia terwujud lantaran eseriusan Pemerintah menangani dekarbonisasi, terutama adanya dorongan kuat dari Menteri ESDM. “Pak Menteri ESDM memang yang menge-push agar terjadi. Apa yang terjadi di Sukawati, proses konstruksi di Bintuni, kita akan masuk ke proses-proses yang benar-benar emisi rendah untuk produksi dari amonia dengan pakai CCS. Kita akan segera punya regulasi CCS, Peraturan Presidennya sekarang sudah digarap, ttinggal ditandatangan oleh presiden,” jelas Dadan.

Saat ini, isu terkait CCS adalah kelayakan membawa CO2 dari luar negeri untuk disimpan di Indonesia. Apalagi kita memiliki reservoir (cadangan) yang banyak, umumnya di bawah laut yang dapat dipakai untuk menyimpang CO2 dengan metode membayar.

“Mereka (negara lain) yang akan menyimpan CO2nya di Indonesia tentu harus bayar. Ini jadi bisnis baru, peluang usaha CCS. Karena kita ini punya potensi besar. Info terakhir angkanya adalah 500 gigaton (GT) CO2,” ungkap Dadan.

Dijelaskan Dadan, angka 500 GT setara dengan 500 miliar ton CO2. Artinya, aabila emisi yang dikeluarkan PT PLN (persero) berkisar antara 300-400 juta dan sektor ESDM lainnya mengeluarkan emisi di angka 600 juta, maka tingkat ketercukupan telah mencapai hingga 900 tahun dibandingkan ketersediaan reservoir yang ada.

Lebih lanjut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun serius mengakselerasi target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2050, khususnya di sektor industri. Sasaran dekarbonisasi ini lebih cepat 10 tahun dari yang telah ditetapkan secara nasional pada tahun 2060 untuk mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Oleh karena itu, Kemenperin proaktif melakukan penyempurnaan strategi atau rencana aksi agar bisa terwujud.

“Kami menyelenggarakan rapat kerja untuk melihat kendala-kendalanya, dan kami mencari solusinya. Dukungan dari pelaku industri mutlak diperlukan dalam upaya menuju dekarbonisasi,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Dekarbonisasi industri adalah proses pengurangan emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh sekto industri. Langkah ini dilakukan melalui teknologi, efisiensi energi, dan perubahan cara kerja. “Saya minta teman-teman industri untuk melihat penggunaan teknologi ini bukan sebagai beban atau cost, tetapi justru sebagai investasi jangka panjang yang akan bisa memberikan manfaat bagi perusahaan serta melindungi keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat,” papar Agus.

Selanjutnya, Agus menegaskan perlunya keterlibatan stakeholders dari sektor finance untuk membantu pendanaan dalam penggunaan peralatan atau teknologi yang mutakhir di sektor industri. Pelaku industri membutuhkan investasi dalam pemanfaatan teknologi canggih untuk bisa mendukung target NZE tahun 2050. Melalui teknologi ini, perusahaan akan melakukan efisiensi dalam penggunaan energi pada proses produksinya. “Jadi, artinya semua proses produksinya dilakukan secara digital, yang sejalan dengan program Making Indonesia 4.0,” tutur Agus.

Agus mengemukakan, kontribusi karbon yang berasal dari sektor indusri sekitar 15-20% dari total emisi GRK nasional. Sementara jika dilihat dari sumber emisi sektor industri tersebut, komponen emisi dari kategori penggunaan energi di industri menyumbang 60%, emisi dari limbah industri 25%, dan proses produksi dan penggunaan produk atau Industrial Process and Product Use (IPPU) sebesar 15%.

“Kalau untuk limbah dan IPPU ini menjadi komitmen kami. Saya sudah memberikan arahan, untuk bisa melakukan percepatan pengurangan. Tetapi kalau yang dari penggunaan energi, itu perlu ada koordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait, khususnya K/L yang memiliki tugas dalam penyediaan energi untuk nasional,” ungkap Agus.

Agus optimistis, apabila sinergi di antara kementerian dan lembaga berjalan baik, upaya untuk dekarbonisasi dapat meningkatkan kembali daya saing dan produktivitas di sektor industri. “Sehingga kontribusi sektor industri terhadap PDB nasional bisa kembali mencapai 20%, dan visi kita untuk menjadi negara industri tangguh, inklusif, dan berklanjutan bisa tercapai,” imbuh Agus.

Categories